"Apa kau bisa bangun? Kau harus makan untuk mengisi kembali energimu". Aku melihat sosok lelaki itu perlahan mendekatiku. Semakin dekat dan semakin jelas, aku bisa menatapnya sekarang, berdiri tepat di samping tempat tidurku. Dia mendekatkan wajahnya ke arah ku, menatapku dengan tatapan teduh. Ahh~ aku terpana dengan tatapannya itu. Tak hanya tatapannya, wajahnya sangat tampan jika dilihat dari dekat dan darinya terpancar aura yang besar, dia memiliki karisma yang kuat. Kenapa denganku? jantungku berdetak kencang, tiba-tiba aku menjadi malu tetapi tidak mau melepaskan pandanganku darinya. Tak apa karena ini dalam mimpi. Setidaknya aku butuh mimpi indah untuk menghilangkan ketakutanku. "Apa kau demam? kenapa wajahmu merah?", dia bertanya sambil melayangkan tangannya ke dahiku mencocokkan suhu tubuhnya dengan tubuhku. Dia memiliki tangan yang besar dan hangat. Eh tunggu, kenapa aku bisa merasakan hangat? Apa ini bukan mimpi?
Aku bingung, aku menggenggam tangannya dan melepasnya dari dahiku. Aku meremas-remas tangannya. membuktikan bahwa tangannya memang hangat. "Kenapa ini? Tanganmu hangat. Aku bisa merasakannya. Apa dalam mimpi indera kita tetap bekerja? Atau ini hanya perasaanku saja?" Aku bertanya-tanya dan melihat ke arahnya. Melihatku bingung dia tertawa. Dia tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan lainnya. Aku semakin bingung, tetapi aku senang bisa melihatnya tertawa lepas. Aku senang melihat ekspresinya yang berbeda-beda. "Hey kau sangat lucu. Apa kau pikir ini mimpi? Apa kau tak ingat kejadian semalam?", dia bertanya padaku sambil terus tertawa. Aku berpikir sebentar, mencoba berlogika dengan semua yang terjadi. Hah, jadi ini bukan mimpi? Aku melihat ke arahnya dan baru sadar aku masih menggenggam tangannya. Aku langsung melepaskan genggamanku dan berbaring menutupi kepalaku dengan selimut. Aku sangat malu. Apa yang barusan aku lakukan? Tapi Kenapa aku malah bersembunyi dalam selimut. Pasti dia menganggapku orang yang aneh. Sekarang aku benar-benar berharap semua ini hanya mimpi.
"Hai, aku Louise. Biasanya orang-orang memanggilku L. Kau Ryanti, kan? Maaf aku membuka dompetmu untuk mencari identitasmu", Louise menarik selimut yang menutupi seluruh badanku.
"Aku tahu sekarang kau pasti malu, tapi kau harus bangun dan makan dulu. Aku sudah membawakan makanan."
"Aku tidak lapar", "ggrrrrrkkkkk" Ah, lagi-lagi ucapanku tidak sesuai dengan perutku. Sungguh memalukan, kenapa semua ini harus terjadi terlebih di depan orang ini. Aku benar-benar tak ingin keluar dari selimut ini.
"Sepertinya perutmu berkata lain", dia membuka selimutku dan memaksa ku duduk. Tak ada pilihan lain, aku memandangnya, "Iya aku memang lapar, jadi awas kalo makanannya tidak enak!". Aku mengatakannya dengan ketus tapi dia malah tersenyum melihat ku.
"Kau pasti akan suka dengan makanannya. Kau mau makan sendiri atau perlu aku suap?" Wah, ucapannya manis tapi aku tahu dia sedang mengejek ku.
"Terima kasih tapi aku bisa makan sendiri", aku mengeluarkan senyum palsu ku. Dia tahu senyumku palsu, tetapi dia tetap tersenyum. Sepertinya dia tahu kalau aku tertarik padanya dan sikap ketus yang ku tunjukan padanya hanyalah kebohongan. Dia hanya berpura-pura tidak tahu. Apa dia sedang mempermainkanku?
"Aku tahu sekarang kau pasti malu, tapi kau harus bangun dan makan dulu. Aku sudah membawakan makanan."
"Aku tidak lapar", "ggrrrrrkkkkk" Ah, lagi-lagi ucapanku tidak sesuai dengan perutku. Sungguh memalukan, kenapa semua ini harus terjadi terlebih di depan orang ini. Aku benar-benar tak ingin keluar dari selimut ini.
"Sepertinya perutmu berkata lain", dia membuka selimutku dan memaksa ku duduk. Tak ada pilihan lain, aku memandangnya, "Iya aku memang lapar, jadi awas kalo makanannya tidak enak!". Aku mengatakannya dengan ketus tapi dia malah tersenyum melihat ku.
"Kau pasti akan suka dengan makanannya. Kau mau makan sendiri atau perlu aku suap?" Wah, ucapannya manis tapi aku tahu dia sedang mengejek ku.
"Terima kasih tapi aku bisa makan sendiri", aku mengeluarkan senyum palsu ku. Dia tahu senyumku palsu, tetapi dia tetap tersenyum. Sepertinya dia tahu kalau aku tertarik padanya dan sikap ketus yang ku tunjukan padanya hanyalah kebohongan. Dia hanya berpura-pura tidak tahu. Apa dia sedang mempermainkanku?
Aku membuka tutup makanan yang dibawanya. Sop. Ini masih hangat. Baunya sangat menggugah selera. Hanya dengan sekali suap aku bisa merasakan kehangatannya mengalir ke dalam kerongkonganku dan mengisi lambungku yang kosong. Sopnya sangat enak. Darimana dia mendapatkan sop seenak ini di rumah sakit? Dalam sekejap aku langsung menghabiskan sopnya tanpa meninggalkan sisa.
"Ini minumnya", dia menyodorkan segelas air padaku dan langsung membersihkan tempat makanku. "Apa kau mau minum lagi?", dia bertanya sambil meraih gelas dari tanganku. "Ah, tidak terima kasih" "Kalau begitu istirahatlah lagi, perutmu sudah terisi, badanmu pasti hangat sekarang, kau bisa istirahat sebentar dan besok kau sudah bisa pulang", wah dia sangat gentle, begitulah anganku. Dia berbicara sambil membaringkanku dan menyelimutiku.
"Apa aku tak perlu minum obat atau apa?"
Aku baru sadar, aku di rumah sakit tapi tak ada obat dan infus yang masuk ke dalam tubuhku.
"Kau tidak sakit kenapa harus minum obat?"
"Ah, aku tidak sakit, seharusnya kau mengantarku pulang ke rumah tak perlu di rumah sakit". Dia duduk di kursi tepat di samping ku dan setengah berbisik, "Aku tak tahu rumahmu, aku juga tak mungkin membawamu ke hotel atau rumahku, kan?" Dia kembali tersenyum.
Ah, aku melihat kepribadian lainnya, sepertinya dia seorang yang ramah, entah sudah berapa kali aku melihatnya tersenyum.
"Sekarang aku merasa sudah sehat kembali, lebih baik aku pulang ke rumah saja", aku baru akan bangun tetapi dia menghentikanku. "Eh, tunggu. Bukannya kamu di sini tinggal sendiri? Akan lebih baik tetap di sini bersamaku, dibanding di rumah sendirian, tidak ada yang menjagamu. Lagian ini sudah tengah malam, tinggallah di sini sampai besok pagi. Aku akan menjagamu". B-dumb. Mata kita saling bertemu. Waktu berjalan sangat lambat. Aku bisa merasakan bunga-bunga bermekaran dan cahaya hangat yang menyelimuti kami. Namun, ada sesuatu yang rumit di hati ini. Aku langsung memalingkan pandanganku.
"Maaf sudah merepotkanmu. Terimakasih sudah menyelamatku di cafe dan membawaku ke rumah sakit. Terimakasih atas semua bantuanmu, tapi mungkin aku tidak bisa membalasnya". Aku kembali berbaring dan menyelimuti tubuhku tanpa melihat ke arahnya. "Kau juga harus istirahat, pasti kau lelah sudah merawatku dari tadi. Selamat malam".
"Ini minumnya", dia menyodorkan segelas air padaku dan langsung membersihkan tempat makanku. "Apa kau mau minum lagi?", dia bertanya sambil meraih gelas dari tanganku. "Ah, tidak terima kasih" "Kalau begitu istirahatlah lagi, perutmu sudah terisi, badanmu pasti hangat sekarang, kau bisa istirahat sebentar dan besok kau sudah bisa pulang", wah dia sangat gentle, begitulah anganku. Dia berbicara sambil membaringkanku dan menyelimutiku.
"Apa aku tak perlu minum obat atau apa?"
Aku baru sadar, aku di rumah sakit tapi tak ada obat dan infus yang masuk ke dalam tubuhku.
"Kau tidak sakit kenapa harus minum obat?"
"Ah, aku tidak sakit, seharusnya kau mengantarku pulang ke rumah tak perlu di rumah sakit". Dia duduk di kursi tepat di samping ku dan setengah berbisik, "Aku tak tahu rumahmu, aku juga tak mungkin membawamu ke hotel atau rumahku, kan?" Dia kembali tersenyum.
Ah, aku melihat kepribadian lainnya, sepertinya dia seorang yang ramah, entah sudah berapa kali aku melihatnya tersenyum.
"Sekarang aku merasa sudah sehat kembali, lebih baik aku pulang ke rumah saja", aku baru akan bangun tetapi dia menghentikanku. "Eh, tunggu. Bukannya kamu di sini tinggal sendiri? Akan lebih baik tetap di sini bersamaku, dibanding di rumah sendirian, tidak ada yang menjagamu. Lagian ini sudah tengah malam, tinggallah di sini sampai besok pagi. Aku akan menjagamu". B-dumb. Mata kita saling bertemu. Waktu berjalan sangat lambat. Aku bisa merasakan bunga-bunga bermekaran dan cahaya hangat yang menyelimuti kami. Namun, ada sesuatu yang rumit di hati ini. Aku langsung memalingkan pandanganku.
"Maaf sudah merepotkanmu. Terimakasih sudah menyelamatku di cafe dan membawaku ke rumah sakit. Terimakasih atas semua bantuanmu, tapi mungkin aku tidak bisa membalasnya". Aku kembali berbaring dan menyelimuti tubuhku tanpa melihat ke arahnya. "Kau juga harus istirahat, pasti kau lelah sudah merawatku dari tadi. Selamat malam".
Aku mencoba menutup mata tapi tak kunjung tidur. Jantungku berdetak sangat kencang. Aku masih memikirkan kata-kataku tadi. Apa perkataanku tadi terlalu kasar? apa salah? Apa aku menyinggung perasaaannya? Aku masih merasakan keberadaannya di depanku. Sepertinya dia masih duduk sambil mengamatiku. Memikirkannya membuatku makin gugup. Dan entah kapan, tanpa sadar aku tertidur.
Aku membuka mataku. Ah, ini di rumah sakit. Aku teringat kejadian semalam saat aku di cafe. Kejadian yang sangat menegangkan, menakutkan dan sepertinya bisa membuatku trauma. Namun, aku berharap aku tidak akan trauma dengan hal seperti itu, trauma hanya akan mengganggu aktivitasku. Oh, aku sendiri di sini. Tak ada yang menjagaku "Wsssstt.." Hah, aku kaget tanpa sebab mendengar suara kloset. Ada orang di kamar mandi. Lelaki itu, aku ingat sekarang. Dia menjagaku dan membawakan makanan. Apa dia masih di sini? Jam berapa ini? Aku melihat ke arah jam dinding yang menujukkan pukul 08.00 WIB. Aku mendengar pintu kamar mandi terbuka. "L, apa itu kau?", aku bertanya dengan ragu. "Hah, L siapa? kau sudah bangun Ry?", tiba-tiba windy keluar dari kamar mandi dan berlari ke arahku. Windy adalah sahabatku, kita bertemu di hari pertama pendaftaran ulang universitas dan menjadi akrab sampai saat ini.
"Hey, kok kamu di sini, win?" Aku bertanya dengan bingung. "Hya, kenapa? nggak senang aku datang ke sini? Hey, apa kau berharap ada orang lain yang menjagamu?" Windy mengernyitkan dahinya sambil tersenyum licik ke arahku. "Iizzzz...", aku menyenggol bahunya.
"Padahal aku panik banget ditelpon rumah sakit kalau kau dirawat di sini. Sampai di sini aku malah diperlakukan seperti ini? Hmm..? hmm...?"
"Ah,,, bukan begitu, kan kamu sekarang harusnya masih di Bali?", sanggahku.
"oh iya, Surprise..", Windy mengulurkan kedua tangannya ke arahku dan menggoyang-goyangkannya. "Hey, hey, surprise apanya?", aku menepis tangannya agar berhenti.
"Aku, surprisenya aku pulang lebih awal. Kau seneng, kan? pasti sepi nggak ada aku seminggu"
"Ih, pede banget, aku malah senang nggak ada yang gangguin"
"Masa' sih??", kelakuan temanku yang satu itu adalah penggoda. Bukan menggoda orang karena genit atau apa, tapi menggoda dengan lelucon dan kata-katanya yang sering banget membuat orang jengkel dan marah. Tapi leluconya itu lebih sering membuat orang tertawa.
"Eh tapi siapa L?"
"Bukan siapa-siapa"
"Hmmm?? Terus, kenapa tadi kamu manggil aku L? pasti, kamu pikir yang di kamar mandi itu L, kan? Hayoo, siapa L? Aku nggak pernah dengar nama itu. Apa seminggu nggak ada aku, kamu diam-diam pacaran?" Hah, sifat rempong windy yang kepo mulai keluar, aku harus sabar karena pertanyaan lainnya akan keluar dari mulutnya bertubi-tubi.
"Padahal aku panik banget ditelpon rumah sakit kalau kau dirawat di sini. Sampai di sini aku malah diperlakukan seperti ini? Hmm..? hmm...?"
"Ah,,, bukan begitu, kan kamu sekarang harusnya masih di Bali?", sanggahku.
"oh iya, Surprise..", Windy mengulurkan kedua tangannya ke arahku dan menggoyang-goyangkannya. "Hey, hey, surprise apanya?", aku menepis tangannya agar berhenti.
"Aku, surprisenya aku pulang lebih awal. Kau seneng, kan? pasti sepi nggak ada aku seminggu"
"Ih, pede banget, aku malah senang nggak ada yang gangguin"
"Masa' sih??", kelakuan temanku yang satu itu adalah penggoda. Bukan menggoda orang karena genit atau apa, tapi menggoda dengan lelucon dan kata-katanya yang sering banget membuat orang jengkel dan marah. Tapi leluconya itu lebih sering membuat orang tertawa.
"Eh tapi siapa L?"
"Bukan siapa-siapa"
"Hmmm?? Terus, kenapa tadi kamu manggil aku L? pasti, kamu pikir yang di kamar mandi itu L, kan? Hayoo, siapa L? Aku nggak pernah dengar nama itu. Apa seminggu nggak ada aku, kamu diam-diam pacaran?" Hah, sifat rempong windy yang kepo mulai keluar, aku harus sabar karena pertanyaan lainnya akan keluar dari mulutnya bertubi-tubi.
"So sweeettttt....", itulah ucapan yang keluar dari mulut windy setelah aku ceritakan semuanya. "Terus sekarang dia kemana? Waktu aku datang tidak ada orang di sini", jawabnya sambil melihat sekeliling.
"Apa iya? Entahlah, mungkin dia sudah pulang". Aku bisa memaklumi dia pulang tapi entah mengapa aku agak sedikit kecewa karena dia tidak pamitan.
"Permisi..", seorang petugas rumah sakit memasuki kamarku. "Maaf, apa makanannya sudah habis, saya akan mengambil piringnya", tanya petugas itu.
"Oh, iya maaf, temanku baru bangun dan belum sempat makan. Apa bisa diambil nanti?"
"Iya, tidak masalah. Kalau begitu saya permisi" "Maaf bu", panggilku menghentikan langkah petugas itu.
"Apa dari kemarin malam ibu juga yang mengantarkan makanan ke kamarku?", tanyaku penasaran. "Tidak mba, saya masuk shift pagi. Ada apa?"
"Oh, tidak apa-apa bu. Apa tadi pagi waktu ibu mengantar makanan ibu melihat laki-laki yang menjaga di kamar ini?", tanyaku lagi.
"Tidak mba, saya cuma bertemu dengan mbanya ini", petugas itu melihat ke arah Windy.
"Iya tadi pagi aku yang menerima makanannya", jawab Windy. Aku masih bingung,
"Yasudah bu, terimakasih"
"Sama-sama mba, kalau begitu saya permisi."
"Iya, Bu", jawabku dan Windy kompak.
"Apa iya? Entahlah, mungkin dia sudah pulang". Aku bisa memaklumi dia pulang tapi entah mengapa aku agak sedikit kecewa karena dia tidak pamitan.
"Permisi..", seorang petugas rumah sakit memasuki kamarku. "Maaf, apa makanannya sudah habis, saya akan mengambil piringnya", tanya petugas itu.
"Oh, iya maaf, temanku baru bangun dan belum sempat makan. Apa bisa diambil nanti?"
"Iya, tidak masalah. Kalau begitu saya permisi" "Maaf bu", panggilku menghentikan langkah petugas itu.
"Apa dari kemarin malam ibu juga yang mengantarkan makanan ke kamarku?", tanyaku penasaran. "Tidak mba, saya masuk shift pagi. Ada apa?"
"Oh, tidak apa-apa bu. Apa tadi pagi waktu ibu mengantar makanan ibu melihat laki-laki yang menjaga di kamar ini?", tanyaku lagi.
"Tidak mba, saya cuma bertemu dengan mbanya ini", petugas itu melihat ke arah Windy.
"Iya tadi pagi aku yang menerima makanannya", jawab Windy. Aku masih bingung,
"Yasudah bu, terimakasih"
"Sama-sama mba, kalau begitu saya permisi."
"Iya, Bu", jawabku dan Windy kompak.
"Ry, jangan-jangan semalam itu hanya mimpi"
"Ah, aku juga nggak tahu. Itu memang seperti mimpi, tapi sangat nyata. Duh, gimana ya jelasinnya". Aku bingung, apa itu benar-benar mimpi? Kalau itu mimpi, berarti aku bermimpi di dalam mimpi? "Apa ini juga masih mimpi? Ahhrrggggggt", Windy tiba-tiba saja mencubit tanganku.
"Sakit? Berarti ini bukan mimpi, say. Apa waktu kau ketemu sama dia, kau juga mencubit dirimu?" "Tidak"
"Yah, terus gimana kau tahu itu bukan mimpi. Itu pasti mimpi-mimpi. Sudah curiga aku, soalnya ceritamu itu terlalu so sweet"
"Aku tidak merasa sakit, tapi aku bisa merasakan hangat. Ah iya, tangannya hangat", aku mencoba membela diri.
"Kalau itu kan bisa aja bawaan dari mimpimu. Udah ini sambil makan dulu". Windy menyiapkan makananku di atas meja dan mulai menyuapiku. "Habis makan, siap-siap pulang. Nanti kita bisa sekalian nanya ke suster siapa yang bawa kamu ke sini pas bayar administrasi." Aku cuma mengangguk setuju.
"Yang jadi waliku pemilik cafe tempat kejadian itu, sus?", tanyaku masih tidak percaya.
"Ah, aku juga nggak tahu. Itu memang seperti mimpi, tapi sangat nyata. Duh, gimana ya jelasinnya". Aku bingung, apa itu benar-benar mimpi? Kalau itu mimpi, berarti aku bermimpi di dalam mimpi? "Apa ini juga masih mimpi? Ahhrrggggggt", Windy tiba-tiba saja mencubit tanganku.
"Sakit? Berarti ini bukan mimpi, say. Apa waktu kau ketemu sama dia, kau juga mencubit dirimu?" "Tidak"
"Yah, terus gimana kau tahu itu bukan mimpi. Itu pasti mimpi-mimpi. Sudah curiga aku, soalnya ceritamu itu terlalu so sweet"
"Aku tidak merasa sakit, tapi aku bisa merasakan hangat. Ah iya, tangannya hangat", aku mencoba membela diri.
"Kalau itu kan bisa aja bawaan dari mimpimu. Udah ini sambil makan dulu". Windy menyiapkan makananku di atas meja dan mulai menyuapiku. "Habis makan, siap-siap pulang. Nanti kita bisa sekalian nanya ke suster siapa yang bawa kamu ke sini pas bayar administrasi." Aku cuma mengangguk setuju.
"Yang jadi waliku pemilik cafe tempat kejadian itu, sus?", tanyaku masih tidak percaya.
"Iya mba, katanya dia pemilik cafe itu, makanya dia yang bertanggungjawab"
"Apa ada orang lain yang ke sini juga selain pemiliknya?", tanyaku lagi.
"Kalau itu saya tidak tahu mba, kemarin malam di UGD ramai banget, ada kecelakaan beruntun, jadi saya tidak terlalu memperhatikan orang-orang yang ada mba"
"Kalau di ruangan, apa ada yang menjagaku?" "Setahu saya tidak ada mba, soalnya kemarin setelah mengurus semua administrasi, bapaknya langsung pulang. Dia cuma memintaku untuk menelpon wali anda dan sekali-kali menengok ke kamar anda"
"Oh, iya Sus. Kalau begitu terima kasih. Maaf sudah mengganggu"
"Iya, sama-sama mba", suster itu tersenyum dan aku langsung menginggalkan meja administrasi.
"Apa ada orang lain yang ke sini juga selain pemiliknya?", tanyaku lagi.
"Kalau itu saya tidak tahu mba, kemarin malam di UGD ramai banget, ada kecelakaan beruntun, jadi saya tidak terlalu memperhatikan orang-orang yang ada mba"
"Kalau di ruangan, apa ada yang menjagaku?" "Setahu saya tidak ada mba, soalnya kemarin setelah mengurus semua administrasi, bapaknya langsung pulang. Dia cuma memintaku untuk menelpon wali anda dan sekali-kali menengok ke kamar anda"
"Oh, iya Sus. Kalau begitu terima kasih. Maaf sudah mengganggu"
"Iya, sama-sama mba", suster itu tersenyum dan aku langsung menginggalkan meja administrasi.
"Ry, kayanya kamu beneran mimpi deh. Bisa aja sih, yang jagain kamu pemilik cafe itu, tapi namanya bukan L, eh siapa itu? Louise?"
"Win, ada ya mimpi yang nyata banget. Terus kenapa aku mimpiin dia ya? Apa karena dia yang nolong aku?"
"Bisa jadi, atau mungkin karena kamu suka sama dia" Aku langsung menghentikan langkah ku. Suka? Aku bahkan baru beberapa kali melihatnya. Aku bahkan belum tahu nama aslinya. Kenapa aku bisa suka sama dia? Bahkan kebaikannya semalam ternyata hanyalah mimpi. Aku tak tahu apa-apa tentangnya, yang aku tahu hanyalah nama mimpinya, L.
"Biasanya orang-orang memanggilku, L", kata-katanya dalam mimpi tiba-tiba saja terlintas dipikiranku.
"Eh, kamu ngapain bengong di situ. Ayo pulang", Windy menarikku dan aku mengikutinya tanpa berkomentar apa pun. Saat ini pikiranku sedang melayang jauh. Aku bermimpi. Ini semua benar-benar hanya mimpi. Kenapa dengan semua mimpi ini. Belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Aku bahkan tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Apa aku akan kembali ke mimpi itu? Mimpi dimana ada dia, mimpi dimana kami bersama.
"Win, ada ya mimpi yang nyata banget. Terus kenapa aku mimpiin dia ya? Apa karena dia yang nolong aku?"
"Bisa jadi, atau mungkin karena kamu suka sama dia" Aku langsung menghentikan langkah ku. Suka? Aku bahkan baru beberapa kali melihatnya. Aku bahkan belum tahu nama aslinya. Kenapa aku bisa suka sama dia? Bahkan kebaikannya semalam ternyata hanyalah mimpi. Aku tak tahu apa-apa tentangnya, yang aku tahu hanyalah nama mimpinya, L.
"Biasanya orang-orang memanggilku, L", kata-katanya dalam mimpi tiba-tiba saja terlintas dipikiranku.
"Eh, kamu ngapain bengong di situ. Ayo pulang", Windy menarikku dan aku mengikutinya tanpa berkomentar apa pun. Saat ini pikiranku sedang melayang jauh. Aku bermimpi. Ini semua benar-benar hanya mimpi. Kenapa dengan semua mimpi ini. Belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini sebelumnya. Aku bahkan tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Apa aku akan kembali ke mimpi itu? Mimpi dimana ada dia, mimpi dimana kami bersama.
***Bersambung....
Salam, L-Ry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar